Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Juni, 2008

Oleh: Riwayat
(Guru PAI SMPN 21 Padang)
Radikalisme keagamaan sering disebut dengan at-tatharuf ad-diny. At-tatharuf secara bahasa mengandung arti berdiri di ujung, atau jauh dari pertengahan. Dapat juga diartikan berlebihan dalam berbuat sesuatu. Pada awalnya kata at-tatharuf di artikan untuk hal hal yang bersifat konkrit kemudian dalam perkembangan bahasa makna at-tatharuf juga bermakna hal-hal yang bersifat abstrak.seperti berlebihan dalam berfikir, berbuat, beragama. Dengan demikian at-tatharuf ad-diny adalah segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama. Kalau ditilik darai segi ajaran Islam, ternyata Islam lebih menyukai kehidupan, alur pemikiran moderat. Atau dalam istilah Al-Quran disebut dengan wasathiyah. Wasatiyah dalam beragama lebih disukai oleh di banding dengan sikap berlebih-lebihan. Sikap moderat dalam Islam didasarkan kepada firman Allah,” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.(QS. Al-Baqarah:143).
Ayat ini mengandung pokok pemikiran bahwa umat Islam hendaknya menjadi penengah yang adil, menjadi saksi dengan adil, menjadi umat yang moderat, tidak terlalu keras, tidak terlalu lunak, tidak terlalu ke kanan Islam maupun ke kiri Islam. Dalam hadis dinayakan bahwa Rasulullah melarang sikap berlebihan dalam beragama, karena yang berlebihan dalam beragama akan hancur.” Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesunggguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam beragama.(HR. Ahmad).
Meskipun dalam ayat ersebut dicontohkan umat terdahulu, tetapi untuk umat Islam sekarang hal itu tentu juga berlaku. Karena berlebihan dalam beragama akan menghancurkan diri mereka sendiri. Kemudian bagaimana dengan radikalisme dalam beragama di Indonesia. Gerakan radikal di Indonesia di pengaruhi oleh gerakan wahabi dan dan gerakan modernisme Muhammad Abduh. Gerakan Wahabi diilhami oleh pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah sebagai pencetus ide gerakan salaf, kemudian dikuatkan dengan pemikiran Ahmad bin Hanbal. Kemudian pada kurun berikutnya Muhammad Abduh membidani Modernisme di Mesir pada abdad ke -19. Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh pembaharu di dunia Islam dan Mesir pada khususnya. Muhammad Abduh melakukan gerakan modernisme bukan radikalisme, tetapi dalam perkembangan berikutnya, tjuan modernisme dipersempit oleh murid-murid Muhammad Abduh, menurut Jajang Jahroni dan Jamhari murid-murid Abduh terjebak kepada semangat salafi yang sempit. Sehingga akhirnya muncul varian-varian baru yang bertolak belakang dengan ide modernisme Muhammad Abduh. Tidak heran jika ada pakar yang menyatakan bahwa Ali Abdurraziq adalah “Abduh kiri” dan Hasan Al-Banna “Abduh kanan.”
Ketika gerakan gerakan tersebut berkembang ke dunia Islam, dunia Islam pada waktu itu masih dalam cengkeraman penjajah. Umat Islam masih berjuang untuk menentukan nasib mereka dari tangan penjajah. Di sisi lain, umat Islam menghadapi kemiskinan kebodohan dan kegelapan peradaban. Hal ini terus berlangsung mulai akhir abad 19 sampai awal abad 20, kolonialisme, modernisme dan sekulerisme, serta dominasi Barat atas dunia Islam. Menghadapi perubahan yang begitu cepat umat Islam kewalahan, akhirnya umat Islam etrpuruk di ingir-pinggir peradaban dunia. Baik secara politik, ekonomi, mapun social. Ketidakmampuan mengadapi keadaan dan realitas tersebut umat Islam larut dalam keberagamaannya. Berpaling kepada agama merupakan sikap melarikan diri karena ketidakmampuan mengikuti perkembangan tersebut dan ketidakmampuan menghadapi dan melenyapkan kolonialisme, sekulerisme dan modernisme yang di bawa peradaban Barat.
Berbagai ketakutan dan kekhawatiran menyerang hati umat Islam. Keadaan ini memberikan semacam kesadaran beragama, dan mereka berusaha mencari legitimasi terhadap keberagamaan mereka, karena mereka beranggapan melawan peradaban yang rusak dan bertentangan dengan alur pemikiarn mereka adalah keharusan. Dengan lari kepada agama mereka merasa lebih nyaman, dan mereka juga mencoba mencari legitimasi terhadap ekapisme yang dilakukannya.
Menurut Jamhari dan Jajang Jahroni gerakan salafi radikal di Indonesia selain factor-faktor pemikiran pemikiran Abduh dan gerakan Wahabi juga di sebabkan oleh gagalnya Negara memberi pelayanan terhadap masyarakat. Factor lainnya adalah ada keinginan untuk mendirikan kekhalifahan, dipihak lain ada keinginan untuk menegakkan syariat Islam, diantara gerakan radikal Islam di Indonesia adalah Fron Pembela Islam (FPI), yang menginginkan formalisasi syariat islam, termasuk juga Laskar Jihad, meskipun demikian Laskar Jihad agak berbeda dengan Front Pembela Islam, Laskar Jihad lebih kea rah idiologi salaf. Kemudian ada juga Hizbuttahrir yang menginginkan seluruh dunia Islam berada dalam satu kekhalifahan yang gerakan politiknya bersifat trans nasional.
Kemudian muncul pertanyaan apa sebenarnya idiologi yang mereka usung, menurut John L. Esposito, paling tidak ada beberapa landasan idiologi yang di ususng oleh gerakan-gerakan radikal tersebut, pertama, gerakan radikal memandang bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh dan bersifat totalitas. Dengan sifat totalitas dan komprehensif tersebut berarti Islam meliputi segala aspekkehidupan, seprti politik, budaya, ekonomi hokum dan kemasyarakatan. Kedua, mereka mengklaim bahwa idiologi Barat adalah sekuler dan materialisis sehingga perlu ditolak. Ketiga, gerakan ini cenderung kembali kepada ajaran Islam, dengan kembali kepada Islam segala perubahan social dapat dilakukan. Keempat, karena idiologi Barat ditolak mentah-mentah, maka semua produk hokum dari Barat juga harus ditolak. Kelima, gerakan ini menginginkan aturan yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan Sahabat serat masa-keemasan Islam, tetapi kelompk ini juga tidak menolak modernisme. Keenam, gerakan ini berkeyakinan bahwa islamsasi masyarakat tidak akan erwujud jika tidak ada wadah gerakan dan organisasi yang kuat.
Dari paparan tersebut tergambar dengan jelas bahwa pada dasarnya idiologi yang mereka bawa adalah baik, tetapi ironisnya dalam realitas keseharian radikalisme lebih menjurus kepada keberagamaan yang negatif dan penuh kekerasan? Padahal yang mereka inginkan adalah gerakan yang menginginkan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw, tetapi di sisilain, perbuatan melawan ajaran islam juga dilakukan?. Adanya penyimpangan makna radikal dalam beragama yang negative inilah yang memprihatinkan, karena pada dasarnya umat Islam hendaknya beragama secara radikal dalam konotasi positif, yaitu beragama yang menyeluruh, dan fanatik. Keadaan ini diperparah oleh para orientalis yang mengkonotasikan fundamentalisme, radikal dan fanatisme beragama dengan kekerasan, kebrutalan. Radikal dan fundamental dalam konotasi negative inilah yang berkembang dan di masyarakat luas, di sisi lain, ada gerakan yang menyalahartikan radikalisme dan fundamentalisme dalam beragama indentik dengan pemaksaan dan kekerasan. Penyalahgunaan fundamentalisme dalam beragama juga mendapatkan kritik dari Yusuf Qardhawi, beliau menyatakan bahwa fundamentalisme hendaknya jangan diterjemahkan secara feksibel dan disalahgunakan untuk melegimitasi perbuatan atas nama agama., sehingga muncul radikal kanan, radikal kiri, Islam kiri islam kanan.
Lebih lanjut Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa umat Islam, baik salaf maupun khalaf radikal pada dasarnya adalah kembali kepada ajaran Allah dan Rsul-Nya, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa:59). Jika berselisih dalam suatu permasalahan maka tempat kembalinya adalah Al-Quran dan Hadis. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah yang tidak terselesaikan, dan yang tidak pernah berakhir adalah masalah itu sendiri.
Jika radikalisme dan fundamentalisme dalam beragama hanya berdasarkan pikiran dan hawa nafsu maka hal itu akan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pengejawantahannya. Di lain pihak gerakan-gerakan dalam Islam akan bermacam-macam coraknya sesuai dengan kehendak nafsunya sendiri. Kalau hal ini terjadi maka kebinasaan, kesengsaraan dan kerusakan akan timbul.” Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”(QS. Al-Mu’minun:71).
Apabila Front Pembela Islam(FPI) dianggap radikal, fundamental itu boleh-boleh saja, itu hak siapa saja untuk berpendapat, kalaupun ingin mengklaim bahwa FPI adalah gerakan keras, radikal, itu sesuatu yang wajar, yang tidak wajar adalah menyalahkan FPI tanpa melihat latar belakang kenapa hal itu terjadi, mengapa terjadi, untuk apa kekerasan? Peristiwa monas merupakan akumulasi saja darai berbagai dilemma bangsa ini yang tidak kunjung ada penyelesaian yang adil. Kejadian monas merupakan implikasi dari rapuhnya kesetiaan dan ketaatan kepada hokum. /www.hariansinggalang.co.id

Read Full Post »

(Tanggapan Terhadap Tulisan Yasraf Amir Piliang, Artikel Kompas, Jumat, 2 Mei 2008)

Oleh : Riwayat

Yasraf Amir Piliang [selanjutnya ditulis Yasraf] membangun kerangka berfikir dengan statemen “dengan geliat demokratisasi yang mewarnai perjalanan bangsa, pengelolaan pendidikan- yang seharusnya menjadi model demokrasi-justru kian menampakkan watak tak demokratis.” Yasraf menyatakan bahwa bukti pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak demokratis dapat dipahami dengan adanya ketidakadilan, adanya pemaksaan dan irasionalitas dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Lebih lanjut Yasraf menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia kehilangan spirit demokrasi hal ini di tandai dengan hilangnya demokrasi itu sendiri, hilangan dialogis, keadilan dan rasionalitas. Pendidikan hanya di landasi dengan pemaksaan dan ketidakadilan.

Pendapat Yasraf terlalu umum karena menjeneralisasikan pendidikan secara nasional, bahkan ada kecenderungan mengabaikan sisi lain, seperti adanya demokrasi dalam proses pembelajaran, tidak semua pelaksanaan pendidikan di Indonesia anti demokrasi. Di sisi lain, Yasraf menyatakan pelaksanaan pendidikan di Indonesia tidak adil dan irasional. Dari pendapatnya ini dapat dipahami bahwa pendidikan di Indonesia tidak ada keadilan, Yasraf beralasan dengan banyaknya tawuran antar pelajar dan mahasiswa, bunuh karena tidak mampu bayar uang sekolah, penyerangan sekolah oleh masyarakat, penyerangan aparat tehadap insititusi kampus, pencurian soal UN, jual beli soal dan kunci jawaban serta pembetulan jawaban siswa oleh guru, fakta-fakta tersebut merupakan indikasi ketidakadilan, ketidakdemokratisan, dan irasionalitas dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

Fakta yang diungkap oleh Yasraf tidak dapat dilihat dari satu sisi saja, karena penyerangan, pencurian soal dan jual beli kunci jawaban adalah soal lain, sedangkan ademokratis dan arsional, pemaksaan juga soal berbeda. Kalau dicermati secara yuridis formal seluruhmasyarakat Indonesia berhak dan dilindungi Undang-Undang, dan berhak mendapatkan pendidikan hal ini dapat dipahami dari Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1, yang berbunyi”tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran…” darai UUD 1945 tersebut secara jelas bahwa semau masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Sebagai tindak lanjut dari UUD tersebut adalah adanya kebijakan wajib belajar sembilan tahun, adanya dana bos, adanya pembebasan uang sekolah bagi anak tidak mampu, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan tidak mampu. Berbagai kebijakan tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah berusaha mengakomodir kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang layak. Kalaupun ada siswa yang bunh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah hal itu bukan salah system, bukan salah kebiajakan, tetapi pihak sekolah ang tidak arif dan bijak dalam mencermati permasalahan siswa, bisa jadi kepala sekolah dan pihak terkait seperti wali kelas yang kurag tanggap sehingga ada siswa miskin tidak mendapatkan besasiswa.

Dengan demikian sebenarnya bukan kebijakan pemerintah tidak adil dan tidak akomodatif, tetapi lebih kepada pelaksana kebijakan yang tidak arif dan amanah. Ketidakberesan ditingkat manajer dan bawahan sering berakibat kepada tidak terlaksananya kebijakan pemerintah pusat. Hal ini terjadi karena ada oknum manajer sekolah yang tidak amanah, sehingga kebijakan tidak jalan sebagaimana mestinya. Realitas ini seharusnya yang perlu disorot, dikritisi dan diperbaiki agar kejadian siswa bunuh diri tidak terjadi. Jika manajer dan pihak berkompeten di sekolah aktif dan arif, serta memperhatikan keadaan anak didik,maka pendidikan siswa dan kebutuhannya yang berhubungan dengan keuangan sekolah akan terpenuhi.

Tawuran antar siswa, tawuran antar mahasiswa bukan karena kebijakan pemerintah yang salah. Tetapi lebih kepada aspek situasi dan kondisi siswa dan mahasiswa itu sendiri, kejadian ini adalah masalah lain,bukan masalah kebijakan pemerintah, analisis Yasraf terhadap permasalah sering dicampuradukkan dengan masalah lain. Tawuran sering dipicu oleh masalah-masalah horizontal sesama pelajar maupun sesama mahasiswa. Hal ini sebenarnya bukan termasuk pada kebijakan pemerintah, tetapi tawuran bukan efek negative dari kebijakan pemerintah, namun akaibat dari benturan-benturan kepentingan antar siswa maupun antar mahasiswa itu sendiri. Seperti rebutan pacar, tersinggung, sakit hati dan masalah social lainnya.

Yasraf menyatakan bahwa adanya guru mencuri soal, guru membetulkan jawaban siswa, dan guru jual kunci jawaban itu bukti ketidakadilan dan demokratisasi hilang dalam pendidikan di Indonensia. Hal itu terjadi–masih menurut Yasraf karena pemerintah selalu bertindak sendiri dalam memutuskan kebijakan dengan tidak membawa serta masyarakat dan praktisi pendidikan dan para ahli. Di sisi lain, guru mencuri soal, jual beli jawana, dan membetulkan jawaban merupakan akibat adanya UN [selanjutnya ditulis UN) dan penyeragaman, pemaksaan Negara. Kalaupun hal itu terjadi bukan karena salah Negara, tetapi perlu kearifan semua pihak, apa yang di UN kan hanya untuk memacu tingkat kualitas standar internasional, bukan pemaksaan dan penyeragaman seperti yang dituduhkan oleh Yasraf. Penulis lebih berkecenderungan terjadinya pencurian dan jual beli kunci jawaban tidak lebih karena kepentingan segelintir orang, bahkan mungkin untuk kepentingan pribadi, seprti untuk mempertahankan reputasi dan imej di muka umum, atau mungkin untuk mempertahankan jabatannya, sehingga apapun dilakukan agar ia tetap menjabat kepala sekolah, kepala Dinas, maupun jabatan lainnya

Kalaupun ada yang jual beli sola itu ada kemungkinan dan patut diduga sebagai usaha memenuhi kebutuhan ekonomi segelintir orang dan itu bukan efek dari kebijakan Negara tentang pendidikan, dan bukan pula efek dari UN. Kalaupun ada efek dari UN hal itu bukan terkait dengan kebijakan Negera, tetapi mungkin dan patut diduga karena ketidaksiapan siswa dalam megikuti UN, atau patut diduga karena orang tua siswa takut kalau anaknya tidak lulus UN. Berbagai kemungkinan dapat terjadi dan menjadi akibat akan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh guru.

Dimungkinkan juga ada guru merasa takut kalau anak didiknya tidak lulus, atau takut nilai mata pelajaran yang di UN kan rendah, sehingga perlu melakukan sesuatu yang mungkin dapat menolong siswa agar mencapai nilai yang tinggi. Kalaupun ketakutan tersebut ada, seharusnya guru mempersiapkan siswanya jauh sebelum UN di laksanakan, bukan dengan jalan mencuri soal, apalagi mengganti lembar jawaban siswa. Semua sepakat bahwa mengganti lembar jawaban siswa adalah perbuatan tercela dan melawan hokum, mencuri soal, jual beli jawaban adalah perbuatan yang melawan hokum.

“Dalam sejarahnya, pendidikan tidak selalu berwatak demokratis. Di negara-negara berideologi totalitarianisme dan fasisme, pendidikan menjadi alat aneka represi, pemaksaan, intimidasi, penyeragaman, dan kekerasan oleh penguasa atau negara. Sebaliknya, di negara demokratis, pendidikan menjadi motor penggerak bagi terbentuknya jiwa demokrasi: kebebasah, keadilan, persamaan, dan dialog.
John S Brubacher dalam Modern Philosophies of Education (1978) menjelaskan, “pendidikan demokratis” sebagai pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia (dignity); individualitas dan kebebasan (akademis); perbedaan dan keanekaragaman; persamaan hak (equalitarianism), di mana model pendidikan harus “disesuaikan” dengan aneka perbedaan (kebutu han, kecerdasan, kemampuan); dan “keberbagian” (sharing), di mana yang berbeda-beda itu (differences) harus diberi tempat, tetapi semua yang berbeda dapat berbagi untuk prinsip-prinsip umum. Dalam konteks otonomi daerah dan dcmokrasi, penghargaan akan “perbedaan” (kebutuhan, kecerdasan, kompetensi), “diversitas” (daerah, alam, dan wilayah), dan “pluralitas” (suku, bahasa, agama, ras) seharusnya menjadi fondasi “ideologi pendidikan”. Segala bentuk penyeragaman, homogenisasi, dan standardisasi tidak holeh dilakukan secara sepihak menggunakan otoritas kekuasaan, tetapi diperbincangkan dan dikomunikasikan dalam ruang publik demokratis (Jurgen Habermas) guna mencapai konsensus bersama.”

Dari kutipan pendapat Yasraf tergambar bahaw demokratisasi di Indonesia belum terwujud, terutama dalam bidang kebijakan pendidikan, menurutnya kebijakan pendidikan masih dikuasa oelh pemerintah pusat tanpa ada keinginan pemerintah untuk duduk bersama dan mengkomunikasikan berbagai kebijakannya. Pemerintah masih sepihak dalam memutuskan kebijakan dalam bidang pendidikan. Anggapan Yasraf kurang berdasarkan sebab bebagai kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pendidikan dikaji dan dimusyawarahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, artinya pemerintah adalam membuat kebijakan mengikutsertakan perwakilan rakyat.

Yasraf terlalu membesarkan masalah tanpa mengkaji lebih jauh dengan analisa yang lebih mendalam, karena pendapatnya bertolak belakang dengan realita. Sebab dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan masing-masing berdasarkan kebutuhan, keadaan wilyah, dan

Bufaya local. Artinya adalah pemerintah pusat memberi kesempatan dan peluang kepada pemerintah daerah untuk mengembangan pendidikan di aderah sesuai dengan kebutuhan, tanpa harus mengilangkan rasa nasionalisme dan kebijakan pemerintah pusat.

Yasraf seharus melihat kebijakan pendidikan nasional sebagai kerangka umum yang bersifat fleksibel, kerangka umum tersebut sebagai acuan dalam mengembangkan pendidikan di daerah masing-masing. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebijakan pendidikan pusat tidak dipaksakan seperti yang dikatakan oleh Yasraf. Pemerintah pusat hanya memberikan tolak ukur untuk keseluruhan, karena secara potensi bangsa Indonesia mempunyai kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan. Kemudian dalam hal pemenuhan materi pembelajaran secara umum dapat terpenuhi karena telah disesuaikan dengan tingkat umur dan psikologi anak didik. Seperti ada Un, materi yang di UN-kan merupakan materi yang sudah diajarkan, dan disemua daerah mempunyai peluang yang sama untuk lulus. Dan materi yang UN-kan tidak mempengaruhi perkembangan keunikan budaya local, karena dalam Sistem Pendidikan Nasional ada kesempatan dan bahkan diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan budaya local, terutama dalam kegiatan ekstrakurikuler. Atau dapat juga dikembangakn dalam muatan local.

Di sisi lain, pemerintah hanya menuntut dilaksanakan sistem pendidikan Nasioanl dalam kerangka keindonesiaan,tanpa menghilangkan kekhasan daerah dan potensi wilayah masing-masing. Yasraf tidak setuju adanya keseragaman, satandarisasi, hegemonisasi hendaknya dibicarakan, dalam kasusu Indonesia kebijakan pendidikan telah dibawa dalam musywarah di ruang public, dalam arti ada pakar, praktisi pendidikan di ajak duduk bersama untuk membuat rumusan kebijakan, ini memberi pemahaman bahwa kebijakan yang dilakukan pemrintah telah diusahan membawa masyarakat, terutama yan hali dan berkompeten dalam bidang pendidikan. Penulis sepakat dengan demokrasi pendidikan yang diapungkan oleh Yasraf-mengutip pedapat Jurgen Habermas, bahwa dalam demokrasi pendidikan sangat memperhatikan perbedaan kebutuhan, kecerdasan, kompetensi, termasuk pertimbangan geografi wilayah, termasuk budaya, adat, suku,bahasa, ras dan agama.

Yasraf mencoba mengapungkan suasana demokrasi adalm pendidikan, dengan menjauhkan pendidikan dari segala kekerasan baik secara terbuka maupaun secara simbolik. Kekerasan dalam pendidikan merupakan sesuatu yang hendaknya dihindari karena kekerasan hanya akan menambah rasa dendam dikalagan peserta didik. Dalam pendidikan Islam pun, kekerasan dilarang, kalaupun ada Hadis Nabi untuk memukul anak yang tidak salat, emukulan itu hanyasebatas mendidik bukan untuk menyiksa apalagi menyakiti. Memang kalau diliaht selintas hal itu merupakan kekerasan, tetapi kalau dicermati sesungguhnya pemukulan tersebut hanya usaha untuk mendidik anak yang engan salat. Kekerasan yang dilarang di sekolah adalah kekerasan yang menyebabkan anak didik teraniaya, terluka, apalagi sampai membahayakan anak didik.

“Kekerasan simbol (simbolic violence), menurut Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1992), adalah sebuah kekerasan halus dan tak tampak, yang dilakukan seseorang, kelompok, atau institusi (seperti negara), dengan menggunakan otoritas kekuasaannya melakukan aneka “pemaksaan” simbolis (bahasa, konsep, program, prinsip, dan makna, yang meski salah, masyarakat dikondisikan untuk mengakui dan menerima yang salah itu sebagai benar dan legitimate.
Konsep UN yang oleh banyak kalangan dianggap kebijakan pendidikan yang tak sesuai dengan semangat otonomi daerah dan demokrasi, oleh otoritas pendidikan (Departemen Pendidikan) “dipaksakan”, dalam kondisi kontroversi tentang kebenarannya. Bahkan, penerapan konsep UN itu dijalankan di atas “bingkai hukum”, berupa hukum pidana bagi para pelanggar, tanpa pernah serius meneliti akar aneka pelanggaran itu.
Kekuatan simbol (symbolic capital) atau otoritas hegemonik digunakan untuk memaksakan kompetensi yang seragam, baku, dan homogen dalam masyarakat plural, dengan modal intelektual, budaya, dan sosial(social capital) yang tidak saja berbeda, tetapi juga senjang. Otoritas pendidikan yang seharusnya mencontoh “pendekatan budaya” dalam menyosialisasikan program pendidikan seperti UN kini melakukan pendekatan “militeristik” penuh represi, tekanan, dan pemaksaani.”

Konsep UN dikritisi oleh Yasraf sebagai sebuah pemaksaan kehendak pemerintah terhadap rakyat. UN hanya pemaksaan terselubung yang dilakukan oleh pemerintah. Di sisi lain Asraf mencoba menorek kebijakan pemerintah terutama Departemen Pendidikan,Departemen di anggap mengunakan pendekatan Militeristik dalam memaksa dan mengadili yang mengahalangi pelaksaan UN dan yang melanggar aturan-aturan UN. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya guru yang diadili karena membantu siswa atau membocorkan soal UN kepada siswa. Yasraf menyatakan bahwa sanksi dan hukuman yang diberikan pemerintah terhadap penghianat UN adalah bersifat militeristik dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi.

Adanya pemenjaraan oknum guru yang mencuri soal dan memperjualbelikan kunci jawaban merupakan tindakan criminal dan harus dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Hukuman yang diterima guru karena mencuri soal adalah sah dan wajib, karena mencuri adalah tindakan pidana dan wajar kalau pelakunya harus masuk penjara siapapun orangnya,k arena secara sah ia melanggar hokum di negeri ini. Yasraf mengusulkan hukumannya seharusnya bersifat pendekatan budaya, berpendapat boleh saja, tetapi kalau penyelesaiannya menggunakan pendeatan budaya, ada kemunginan hal itu akan diulang karena tidak ada kebijakan tegas. Pendapat Yasraf yang menyatakan bahwa sosialisasi UN bersifat militerisitik tidak berdasar, bahkan secara nyata Yasraf menyatakan bahwa pendekatan militerisitk penuh dengan kekerasan, tekanan, dan pemaksaan. Kalau dicermati di tengah masyarakat, perasaan tertekan, merasa dipaksa, dan merasa mendapat tekanan, itu halyang wajar, wajar bagi anak didik yang malas belajar, karena UN dinilai sebagai beban karena ia tidak akan lulus.

Di sisi lain, UN bagi siswa yang rajin belajar merupakan tantangan yang menyenangkan. UN akan terasa menyiksa bagi kepala sekolah yang tidak ingin kehilangan jabatannya, UN baginya adalah pertaruhan jabatan kepala sekolah, maka kepala sekolah yang bermental seperti ini akan kasak kusuk dan mencari celah untuk kesuksesan UN di sekolahnya. Yang merasa tertekan adalah para oknum guru yang suka mencuri soal UN, membocorkan soal UN dan membetulkan jawaban siswa, merasa tertekan karena telah berbuat melanggar hukum dan melanggar aturan negara.

Bagaimana mungkin seorang guru digiring ke pengadilan untuk mendapat keadilan (justice) dan kebenaran (truth) atas dakwaan melanggar kewajiban (UN) yang justru konsep, bentuk, dan materinya penuh muatan “ketakadilan” (injustice). Dalam jiwa para guru yang membantu membentukjawaban ujian siswa bergejolak dua dorongan “kebajikan” (virtue) yang bertentangan, yaitu “respek terhadap hukum” dan “rasa kemanusiaan”(membantu siswa memperbaiki jawaban).
Pana guru itu tentu tidak dapat melakukan dua kebajikan sekaligus. Mereka memilih “rasa kemanusiaan” dengan “melanggar hukum” (membantu siswa terbelakang). Mereka adalah para Robin Hood, yang dihinakan sebagai “kriminal” oleh penguasa, tetapi disanjung bagai “pahlawan” oleh orang-orang marjinal. Para guru itu memang melanggar hukum, tetapi mereka melakukan itu karena didorong oleh “ketidakadilan” sistem pendidikan, yang mengabaikan perbedaan (kebutuhan, kecerdasan, dan kompetensi)”.

Dari kutipan tersebut dapat dicermati bahwa Yasraf mendukung seorang guru yang berkhianat demi anak didik, Yasraf lebih menyukai sikap guru yang mencuri soal demi anak didik, bahkan Yasraf menganggap perbuatan guru yang membocorkan soal, emncurai soal sebagai pahlawan layaknya Robin Hood. Apa mungkin pencuri dianggap pahlawan? Tetapi bisa jadi pahlawan bagi siswa pemalas, siswa yang malas belajar, bagai mereka guru yang mencuri soal dan membocorkan soal adalah pahlawan, seperti layaknya Robin Hood. Lagi-lagiYasraf dengan kerancuannya dan sinisnya terhadap kebijakan pendidikan menyatakan bahwa system pendidikan tidak adil, ketidakadilan tersebut menurut Yasraf digambarkan dengan adanya pengabaian perbedaan akan kebutuhan, kecerdasan dan kompetensi.

Seharusnya guru tidak perlu mencuri soal UN demi anak didik, bukan seperti itu langkah untuk meningkatkan prestasi dan pencapaian nilai anak didik, tetapi langkah yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan yang terbaik untuk siswa pada saat pembelajaran, mudah-mudahan dengan kesiapan guru dalam pembelajaran serta mencoba dengan berbagai pendekatan dan metode akan memberi peluang kepada siswa untuk semangat dalam belajar. Di sisi lain, guru hendaknya juga memperhatikan keberagaman peserta didik, baik potensi, kebutuhan dan kecerdasan dan potensi lainnya. Dengan berbagai usaha tersebut paling tidak sudah memberi semacam kepercayaan siswa untuk menghadapi Ujian Nasional(UN).

Untuk menurut penulis adalah sesuatu yang bai untuk memacu kemampuan intelektual siswa, di samping itu UN melatih siswa untuk rajin belajar dan berlatih untuk jujur, jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap kemampuan diri. Dengan adanya UN, siswa makin diuji untuk terus belajar dan belajar. UN dilaksanakan bukan untuk ademokratis, tetapi untuk demokrasi itu sendiri.

Read Full Post »

Oleh: Riwayat

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemology adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu,” Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[1] Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia di sisi Allah Swt dan di sisi manusia.

Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akherat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilm,u akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan bvenar tidaknya manusia dalam mencari kebenaran.

Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[2] Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.

Al-Quran menyatakan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu pengetahuan dengan yang tidak berilmu pengetahuan,” (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.[3] Dalam ayat tersebut juga dinyatakan bahwa hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Artinya adalah manusia yang berakal akan mendapatkan pelajaran dan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya orang yang berakallah yang dapat memahami ayat-ayat Allah.

Dalam ayat lain Allah menyatakan, Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.[4] Dengan demikian orang yang berilmu akan mendapatkan pemahaman dari ayat-ayat Allah. Pemahaman orang-orang berilmu akan menghasilkan kebenaran. Dan kebenaran yang paling dapat dipercaya adalah kebenaran wahyu Allah.

Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium.[5]

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas, empirisme saja dalam menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan menggunakan wahyu dan intuisi, ilham dalam mencari kebenaran. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.[6]

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan ilmu yang benar dapat muncul dari contoh-contoh danfenomena alam yang sengaja Allah ciptakan agar manusia memperhatikan dan mengambil pelajaran. Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu mengambil kebenaran dari ayat-ayat Allah, untuk mencari kebenaran menurut Al-quran tidak dapat mengandalkan akal sebagi satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Al-Quran menyatakan semau tanda-tanda /ayat-ayat Allah tidak ada gunanya keculai bagi mereka yang beriman. Dalam ayat lain Allah memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.[7]

Ayat tersebut mengindikasikan bahwatidak semua orang akan mendapatkan kebenaran, hal ini membuktikan bahwa meskipun manusia mempunyai akal tetapi dengan akalnya ia tidak serta merta mendapatkan kebenaran hakiki. Kalau tidak izin Allah dan kehendak Allah maka manusia tidak akan mendapatkan ilmu dan kebenaran. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan panca inderanya untuk memahami ayat-ayat/ tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian panca indera merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu dan kebenaran. ”Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).[8]

Al-Quran menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan akal untuk memperoleh pengetahuan, dengna berbagai fonomena akal manusia dapat memahami tanda-tanda kekuasaan Allah. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.[9]

Meskipun Islam menyuruh akal manusia untuk memahami, meneliti ayat-ayat Allah, tetai peran akal dalam eksperimen tidak sebebas-bebasnya. Dalam arti masih ada batas akhir dari kemampuan akal untuk m,encapai kebenaran. Ketika akal manusia tersbentur maka yang berlaku pada saat itu adalah keimanan terhadap wahyu Allah. Dengan demikian adanya anggapan bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah sudah mencukupi untuk menemuklan kebenaran tentang adanya Tuhan, sudah cukup untuk menjadi sarana mengenal Tuhan. Padahal Allah mengatakan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan merupakan petunjuk bagi orang –orang yang bertakwa. Yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya,” Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.[10]

Panca indera adalah alat bagi akal untuk mencerap pengetahuan. Akal akan sempurna ketiak diperkaya oleh wawasan yang didapoatkan melalui indera, Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu. apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti. Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.[11]

Pengetahuan yang bersifat inderawi dapaty dicerap secara inderawi, sedangkan pengetahuan yang bersifat non inderawi/metafisika hanya dapat diyakini dan dibenarkan dengan keimanan. Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.[12](Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.[13] Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan”.[14] Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.[15]

Ayat tersebut memberikan informasi bahwa ada pengetahuan yang mampu didapatkan oleh manusia, ada juga pengetahuan belum mampu diketahui oleh manusia. Tetapi semua pengetahuan itu telah disedaikan Allah untuk manusia, manusia tinggal mencari pengetahuan tersebut berdasarkan panca indera yang diberikan Allah serta dengan panduan wahyu yang telah Allah turunkan. Dengan demikian ada kemungkinan manusia mengetahui rahasi pengetahuan yang diberikan Allah, permasalahannya hanya terletak pada kemampuan manusia untuk menggunakan panca indera sebagai alat akal dan menggunakan wahyu sebagi sumber pengetahuan dan elemen dasar sebagai pijakan dalam melakukan penelitian dan eksperimen.

Eksperimen pun terbatas kepada pengetahuan bersifat fisika, sedangkan yang bersifat metafisika seprti surga, neraka, malaikat,azab kubur, iblis, mizan, shirat dan peristiwa hari kiamat itu adalah kajian wahyu dan hanya dapat diimani tidak dapat diakal-akali. Dalam arti tidak dapat diteliti dengan panca indera, tetapi hanyadapat diyakini kebenarannya. Islam mengakui adanya kemampua panca indera dan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran, tetapi Islam juga tidak menafikan kelemahan panca indera dan akal, di sisi lain, Islam mengakui adanya pengetahuan yang tidak didapatkan manusia melalui panca indera, tidak melalui perenungan, eksperimen, pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara langsung tanpa adametode ilmiah, eksperimen, pengamatan dan lain sebagainya, pengetahuan langsung tersebut adalah wahyu. “Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.”[16] Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia dapat mempunyai ilmu pengetahuan tanpa adanya eksperimen, pengamatan, penalaran, tahap coba-coba maupun metode ilmiah, pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang langsung diberikan Allah kepada manusia.

”Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”[17]

Ayat tersebut memebri gambaran bahwa Allah berhak memberi pengetahuan tanpa harus melakukan penelitian, tanpa eksperimen. Pengetahuan tersebut bersifat kewahyuan yang diberikan kepada manusia yang telah dipilih oleh Allah, dan kebenaran dari pengetahuan tersebut terjamin dari kesalahan. Dalam arti tidak ada semacam eksperimen, pengamatan. Pengetahuan seperti ini bersifat kebenaran hakiki.

Islam mengakui adanya pengetahaun yang didapat melalui mimpi yang benar. Mimpi dalam Islam dapat menjadi sumber pengetahuan, pengetahuan melalui mimpi tidak dapat dicari secara metode ilmiah, metode eksperimen, metode penelitian, maupun pengamatan.” Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan Telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah Aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah Aku dengan orang-orang yang saleh.”[18]

Pengetahuan dan kebenaran dalam Islam dapat diperoleh melalui ilham,”Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. mereka menjawab: kami Telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)”.[19]

Kebenaran dan npengetahuan dapat diperoleh manusia melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepadamanusia yang telah dipilih-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam pengetahuamn dan kebenaran tidak harus melalui metode ilmiah, penelitian, tetapi dapat langsung diperoleh manusia melalui ilham. Dalam ayat lain Allah juga memberi ilham kepada ibu Musa, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”[20]

Ayat tersebut secara jelas memberikan fakta bahwa pengetahuan dapat di peroleh manusia melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepada manusia yang dikehendakinya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa epistemology dalam islam menyatukan akal dan mengarahkannya untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran berdasarkan wahyu, keimanan kepada Allah. Islam mengakui kemampuan akal, panca indera, tetapi Islam juga memngakui ilham, mimpi dan wahyu sebagai sarana mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan. Dan pengetahuan dan kebenaran yang didapatkan dari sarana tersebut tidak dapat diperoleh melalui metode ilmiah apapun.

Sebagai uaraian penutup pada poin ini, perlu sebagai dipahami bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan/ premis keyakinan. Keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai sumber pengetahuan. Dikatakan al-Quransumberpengetahauan karena di antara fungsi al-Quran adalah sebagai petujuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil. .

“ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[21]

Ayat tersebut secara jelas memberikan informasi bahwa al-Quran adalah sumber petunjuk kebaikan bagi manusia, penjelas tentang segalaseustau yang tidak dipahami oleh manusia. Penjelas tentang peristiwa masa lalu, masa yang akan datang dan masa metafisika/ akherat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-Quran adalah sumber pengetahuan bagi manusia,baik yangbersifat fisika maupun metafisika.

Islam sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi motivasi agar manusia berusaha mencari ilmu dan menenliti, hal ini membuktikan bahwa kedudukan ilmu dlam Islam sangat diperhatikan dan diutamakan. Bahkan dalam ayat 11 surat al-Hujarat Allah berjanjai akan meningggikan orang yang beriman dan berilmu.

Agar manusia berilmu Allah memberi pengajaran, di natara ayat yang memberi sinyal pengajaran adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.[22]

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sumber dari pengetahuan dalam Islam adalah wahyu. Danuntuk mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu.wahyau merupakan puncak segala sumber pengetahaun yang emrupakan manisfestasi dari firman Allah.


[1] QS. Surat Al-Mujadalah :11

[2] QS. . Al-Alaq:1-5

[3] QS. Az-Zumar:9

[4] QS. Al-Ankabut:43

[5] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektip Pemikiran Islam,(Jakarta: Lintas Pustaka: 2006), h. 53

[6] QS. Al-Maidah:31

[7] QS. An-Nur:43

[8] QS. An-Nahl:10-12

[9] QS. Al-Hajj:46

[10] QS. Al-Bbaqarah:1-5

[11] QS. Yunus:42-43

[12] QS. Hud:123

[13] QS. Al-Jin:26

[14] QS. Al-Kahfi:26

[15] QS. Yasin:36

[16] QS. An-Nisa:163

[17] QS. Yusuf:68

[18] QS. Yusuf:101

[19] QS. Al-Maidah:111

[20] QS. Al-Qashas:7

[21] Al-Baqarah:185

[22] Al-Baqarah: 164

Read Full Post »

Oleh:Riwayat

Pribadi Asmaul husna adalah sebuah kemungkinan. Karena pada asmaul husna terdapat nama-nama Allah yang indah. Bukan hanya indah tetapi di dalam asmaul husna mengandung pesan moral dan spiritual bagi manusia. Pesan dari Allah yang menciptakan manusia dan segala isi alamnya. Asmaul husna tidak hanya sekedar dihafal dan dibaca tetapi hendaknya ada upaya intenalisasi ke dalam diri manusia. Jika hal ini dilakukan maka asmaul husna sangat mugkin dapat dimili oleh manusia. Meskipun tidak setara kualitasnya dengan makna yang di milikioelh Allah sebagai pemilik asmaul husna. Tetapi paling tidak dengan memiliki asmaul husna, memiliki dalamarti mencoba mencontoh dan melakukannya dalam dunia nyat mak manusia akan menjadi sempurna dalam taraf kemanusiaaannya. Sempurna daam arti sebagai manusia, sempurna dalam pandangan manusia dan mulai dalam pandangan Allah.

Asmaul husna akan menjadi semacam idola dan ciri khas para pecinta Allah. Karena asmaul husna adalah nama-nama Allah yang agung – mulia dan paling pantas dan baik untuk diikuti dan diteladani. Padang sebagai pioner dalam pengejawahtahan asmaul husna, menjadi ujung tombak dan pembangkit semangat religius dalam kegersangan spiritual masyarakat modern. Masyarakat hendaknya bukan sekedar dikenalkan asmaul husna dari segi bacaan, seninya, lombanya, tetapi lebih dari itu Asmaul husna hendaknya menjadi kerpibadian masyarakat Padang, menjadi darah daging bagi generasi muda Padang sehinga nantinya kota padang menjadi kota religius. Kota yang aman damai, sejahtera dalam lindungan Allah swt. Menyadari akan pentingnya pengamalan asmaul husna dalam realitas kehidupan manusia menuntut semua pihak untuk bahu membahu menggalakkan, mendorong yang mengenalkan sekaligus mengajak semua masyarakat untuk menjadi pribadi asmaul husna.alangkah indah kota padang, alangkah damainya hati masyarakat kota Padang ketika semua kompenen, semua kalangan masyaratakat Padang mempunyai sifat-sifat asmual husna yang telah mendarah daging dalam jiwa dan sanubarinya. Maka akan terlihatlah kemudahan, kegemilangan akan dampak dari internalissasi asmaul husna dalam kehidupan kesejaraan masyarakat Padang, untuk itu peru kiranya peran serat masyarakat, para orang aua dan semua pihak untuk mendukung terwujudnya generasi asmaul husna, generasi yang dirihoi oleh Allah.

Generasi asmaul husna adalah generasi yang mamapu dan mau melakukan kebaikan tanpa mengharapkan sanjungan,hadiah, tetapi ia meyakini dalam hati bahwa semua kebaikan akan mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah Swt. Balasan akan dating tanpa diminta ketika seseorang melakukan perbuatan baik, karena pada dasarnya semua aktivitas kebaikan akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan kebaikan yang dilakukannya. Hal ini hendaknya menjadi bagian dari kehidupan dari pribadi asmaul husna.

Kalau masyarakat Padang telah mempunyai kepribadian asmaul husna, maka ketenangan, ketentraman akan menyelimuti kehidupan keseharian masyarakat kota Padang, sebaliknya jika masyarakat padang masih jauh darinilai-nilai asmaul husna maka kesengsaraan, rasa takut, rasa tidak aman akan menjadi baying-bayang ketakuatan dalam kehisupan keseharian. Hati menjadi gundah gulana, resah dan gelisah.

Untuk itu, sudah saatnya asmaul husna menjadi bagian keseharian warga kota Padang, dengan menjadikan asmaul husna sebagai bagian dari kepribadian,maka akan muncul kehidupan yang damai, tentram,aman dan penuh keridhoan. Denganmenjiwai dan mengamalkan asmual husna jiwa menjadi tenang, jauh dari kegelisahan, keresahan. Allahu a’lam

Read Full Post »

Oleh: Riwayat

Desentralisasi menjadi agenda politis strategi untuk pendidikan di negara-negara di dunia pada terutama pada dua decade sebelumnya ( Fullan-And Watson, 2000, p.45 3). Davies et al ( 2003, p.139) Ia menjelaskan sebagai suatu obat mujarab atau bahkan mantra didalam diskusi global ” penguasaan baik” atau format pengambilan keputusan efektif’ dan, menurut Calloids ( 1999, p.9), adalah ‘ salah satu gejala utama yang mempengaruhi perencanaan bidang pendidikan pada lima belas tahun terakhir ‘. yang keduanya berkembang di ( Bank Dunia, 1995) Masyarakat barat ( Rondinelli et Al, 1983)

walaupun, ketika Hanson ( 1998, p.111) menunjuk ke luar, alasan, strategi dan hasil sama berbeda seperti negara-negara mereka. Sebagai contoh, di Nicaragua, Desentralisasi telah digunakan untuk menguasakan orang tua dan pendidik lokal melalui peningkatan status otonomi sekolah dan di Pakistan tujuan adalah untuk meningkat/kan keikutsertaan anak-anak bidang pendidikan dari keluarga-keluarga berpendapatan rendah. Di Negara-Negara barat seperti Australia Austria, Selandia Baru, Netherlands, UK dan AS, desentralisasi adalah suatu pantai utama dari perubahan bidang pendidikan sistematis sebagai upaya negeri mencari dan menaikkan prestasi bidang pendidikan sebagai bagian dari pengarah untuk memastikan daya saing dalam ekonomi global.

Caidwell dan Spinks, 1988; 1992; 1998) dan, Caldwell ( 2001) dan pengikutnya sudah menggunakan istilah self-managing sekolah mengacu pada sekolah yang telah ada peralihan atau pendelegasian pengambilan keputusan penting, terutama sekali sumber daya yang beroperasi pada suatu kerangka tanggung-jawab dan standard yang ditentukan. Sekolah Pemerintahan sendiri, bagaimanapun, hendaknya tidak beroperasi di dalam kerangka seperti itu, sekolah swasta di dalam kebanyakan sistim dapat dijadikan contoh yang baik untuk pemerintah.

Jelaslah bahwa dari contoh tersebut kepedulian diperlukan untuk penafsiran berbagai konsep, proses dan gagasan berhubungan dengan tingkat yang berbeda dengan pengambilan keputusan pada sistem bidang pendidikan. Bagaimanapun, dalam rangka memahami isu itu, kita hendaknya memusatkan pada konsep inti dari desentralisasi.

DESENTRALISASI

Suatu definisi adalah titik awal yang bermanfaat walaupun, meskipun tidak secara langsung. Menurut Karlsen ( 2000), desentralisasi tidak mempunyai arti yang tepat, meskipun demikian erat kaitannya dengan konsep lain seperti deregulasi, pendelegasian, peralihan dan dekonsentrasi (Tukang besi, 1985). Tidak semua terminologi ini digambarkan kemudian digunakan untuk menandai adanya tindakan seperti kepindahan dan pembalikan. mereka menyarankan suatu pengertian separasi dari hal beberapa atau menunjuk. Sebagai tambahan, mereka semua menguraikan suatu hubungan dimensional yang menghubungkan pusat dengan batas luar. Dengan kata lain, mereka dapat dilihat ketika akhir suatu rangkaian ( Mintzberg, 1983) berarti adalah konsep relatif. Apa yang dipertimbangkan didesentralisasi dengan mudah dilihat ketika dipusatkan pada yang lain.

Hanson ( 1998) dan Karstanje ( 1999) menggambarkan desentralisasi suatu sistem sebagai proses otoritas pengambilan keputusan untuk fungsi tertentu dan kuasa yang didelegasikan dari pusat ke daerah atau dari penguasan tertinggi kepda penguasa yang lebih rendah’. Karenanya, ada suatu pengertian suatu mengubah power-base berhubungan kepada konsep desentralisasi. bagaimanapun, desentralisasi menyiratkan kekuasaan digeser kepada unit ‘ paling rendah’ yang mana, di dalam kasus pendidikan, biasanya mempertimbangkan perguruan tinggi atau sekolah, apalagi di perguruan tinggi atau sekolah individu, kuasa mungkin dijaga oleh prinsip dengan tidak ada kuasa diserahkan lain di institusi itu. green ( 1999) desentralisasi bermaksud menyerahkan kekuasaan kepada daerah, berpindahnya pengambilan keputusan bidang pendidikan dan kekuasaan berhubungan dengan pengambilan dari pusat kepada kepada pemerintah daerah; memahami desentralisasi dalam praktek melalui identifikasi dan pertimbangan dari studi kasus internasional yang berbeda berdebat hubungan antara peningkatan sekolah dan otonomi kelembagaan. variasi terminologi pada hakekatnya dihubungkan untuk melihat hasil dari desentralisasi itu sendiri.

Dalam terminologi berbeda digunakan untuk menguraikan proses pengambilan keputusan dari satu tingkat otoritas ke yang lain di dalam sistem seperti halnya menghasilkan kondisi-kondisi untuk organisasi individu dari dinamika ini. Beberapa penulis menggunakan satu atau istilah lain tanpa perhatian terperinci ke maksud yang tepat dengan hasil yang mereka mungkin gunakan.

Secara internasional, situasi bahkan lebih kacau, Smyth (1993, p.1) memperbicangkan tentang desentralisasi membingungkan array terminologi seperti ‘ manajemen school-based’, ‘ peralihan’, ‘ pengambilan keputusan site-based’ dan ‘ format school-centred pendidikan’ di dalam pengenalan koleksi yang diterbitkannya pada self-managing sekolah. Karstanje ( 1999) menambahkan deregulasi’ daftar dalam konteks Eropa. mengetahui variasi terminologibelumlah cukup. Sebagaimana Whitty et Al ( 1998) namun, suatu masalah dengan istilah dimaksud berbeda jika dihubungkan dengan satu terms saja, beberapa manajemen sekolah mempunyai kaitan dengan desentralisasi dan deregulasi sekolah atau perguruan tinggi sedang lainnya dalam pengambilan keputusan dilakukan secara bersama di sekolah atau perguruan tinggi. Mereka menyimpulkan bahwa tidak satupun dari istilah tersebut mempunyai definisi yang tepat’ ( p.9) dan ‘ terutama dari segi semantik’ ( p.10), hal ini juga dinyatakan oleh Thomas dan martin ( 1996, p.18).

Bagaimanapun, memusatkan pada self-managing dan sekolah pemerintahan sendiri, mempunyai suatu pembedaan penting dan jelas bersih, di (dalam) terakhir waktu, dibuat oleh Caldwell ( 2001; 2002). Caidwell dan pos terdepan pemerintah pusat regional, otoritas lokal, mitra sosial dan institusi mereka sendiri ( p.6 1). Dengan kata lain, desentralisasi dapat untuk tingkatan ‘ lebih rendah’ manapun. Definisi green juga menyoroti kesukaran istilah. Peralihan merupakan suatu pengaturan permanen yang berkenaan dengan perpindahan pengambilan keputusan untuk suatu tingkat yang lebih rendah sebagai lawan pendelegasian ketika otoritas pusat siap re-appropriate beberapa atau semua kuasa untuk membuat keputusan ( Kantor untuk Penerbitan Pejabat Masyarakat Yang mengenai Eropa, 2001, p.180). Dekonsentrasi menguraikan pengertian desentralisasi sebagai tugas dan kekuasaan dipindahkan dari pusat ke badan lokal. Yang mempunyai kaitan dengan tempat otoritas dan menggerakkan secara formal hak-hak untuk memutuskan bidang pendidikan ( Levin dan Muda, 1994).

Karstanje ( 1999, p.29) membedakan antara desentralisasi dan deregulasi di dalam kecenderungan diskusi tentang nya di (dalam) Eropa. Ia membantah bahwa terdahulu dihubungkan dengan pusat Dan Negara-Negara Eropa Ketimuran belakangan berkecenderung untuk mendominasi Barat. Bagaimanapun, di (dalam) mempersiapkan suatu kerangka konseptual yang berhubungan tugas utama di dalam manajemen sekolah dan nilai/kelas otonomi berbeda, ia memasang proses keduanya dan menandai adanya tingkat sentralisasi dan desentralisasi yang berbeda, serta dikombinasikan dengan regulation/deregulation.

Pemusatan dan Desentralisasi

Centre-Periphery Definisi berarti bahwa jika desentralisasi adalah mungkin kemudian pemusatan harus pula jadilah suatu pilihan. Berbagai argumentasi untuk pemusatan diberi. Brooke ( 1984, p.170) meliputi kebutuhan akan kendali pusat, safer’ ( p.135). Argumentasi yang prinsip untuk pemusatan bidang pendidikan seperti dikemukakan oleh Winkler ( 1993) dan Welier ( 1993) keuangan bermanfaat secara ekonomi skala seperti halnya alokasi sumber daya untuk mengurangi perbedaan ekonomi regional;

1. kebijakan dan keseragaman bersifat rencana, untuk menetapkan konsistensi di (dalam) mutu, program kegiatan dan aktivitas (sebagai contoh, kurikulum, menggunakan;merekrut, pengujian, penyerahan bantuan administratif);

2. penempatan sumber daya manusia langka, untuk menempatkan secara strategis yang langka, sumber daya manusia trampil pada poin-poin itu di dalam institusi dimana dampak mereka dapat menjangkau ke seberang keseluruhan sistem bidang pendidikan;

3. difusi inovasi, untuk menyebar partikel debu perubahan dengan cepat melalui/sampai keseluruhan sistem; pengajaan dan pembelajaran yang ditingkatkan, suatu kurikulum dikendalikan dapat satu kebijakan menjawab untuk permasalahan dalam para guru berkualitas.

Hanson ( 1986) menyediakan suatu ilustrasi bermanfaat untuk situasi kebijakan pemusatan secara dramatis meningkatkan organisasi dan manajemen sistem yang bidang pendidikan. Contoh nya adalah sekitar Kolumbia dari 1968 kepada almarhum 1980. Sebelum 1968, departemen ( serupa ke provinsi atau negara) hidup suatu kondisi semi-anarchy. Menurut Hanson, dalam memuutuskan kebijakan mereka jarang ragu-ragu untuk menggunakan dana bidang pendidikan untuk tujuan lain, kesalahan memenej sungguh akan berakibat kepada ketidakefisiennya kebijakan bidang pendidikan nasional. Ia menunjuk di daerah lain, bahwa sebagai hasil suatu pelimpahan wewenang untuk meningkatkan pemusatan sistem bidang pendidikan pada tahun 1968.

Pemusatan Dan Desentralisasi kemudian adalah pada hakekatnya berhubungan satu dengan lain,( Coklat, 1990, p.37). Caidwell ( 1993), di (dalam) mendiskusikan bergeser pola teladan penguasaan di (dalam) pendidikan secara internasional, menyoroti kecenderungan untuk memusatkan penentuan sasaran, menetapkan prioritas dan kerangka untuk accountabilitas dan untuk mendesentralisasi otoritas dan tanggung jawab merupakan fungsi kunci ke tingkatan sekolah.

Suatu Kecenderungan Internasional

Perlu digarisbawahi, kecenderungan di seluruh bumi, sebagai contoh, di AS (Elmore, 1993; Lebih baik, 1993), Canada ( Hailak, 1991) dan Inggris dan Wales ( L.Eva, 1995). Di (dalam) rasa hormat ke Inggris dan Wales, memberikan contoh oleh yang 1988). Tindakan Ini memperkenalkan suatu kurikulum nasional, penilaian yang dibakukan, manajemen dana dan sekolah swasta merawat status untuk sekolah. Sebagai hasil potongan perundang-undangan tunggal ini, aspek kebijakan, kurikulum dan penilaian telah dipusatkan, sedang praktek dan tanggung jawab manajemen manusia dan phisik sumber daya telah didesentralisasi. Walaupun Pemerintah konservatif bertanggung jawab untuk mempromosikan perundang-undangan berdasarkan otonomi, pilihan dan keaneka ragaman, dengan kata lain, konsep menghubungkan dengan desentralisasi, Tindakan dilakukan, sesungguhnya, memusatkan banyak penting untuk Status Sekretaris, untuk Pendidikan Whitty ( 1990) mengambil pandangan ideologis tertentu dan membantah bahwa ‘ yang retorik desentralisasi adalah suatu tutup untuk pemusatan. Sedangkan para penulis lain ( sebagai contoh, Thomas, 1993; Levaié, 1995) juga menafsirkan polarisasi aspek kebijakan pendidikan dan praktek di dalam memperkenalkan perubahan melalui Tindakan ini .

Suatu contoh kasus desentralisasi di Brazil.

Contoh Kasus 1 Decentrahsasi di Brazil tahun 1990

Gorostiaga Derqui (2001) menyelidiki kebijakan ini di Brazil, dengan pertimbangan mutu pendidikan terendah disbanding dengan wilyah alinnya di Amerika. Brazil juga termasuk Negara miskin di Amarika. Pada tahun 1988 Konstitusi didesentralisasi ke sistem pendidikan kotapraja dan dari tahun 1985, beberapa negara mengijinkan mendirikan dewan sekolah yang mencakup para guru, pengurus, para siswa dan orang tua.

Beberapa negara dan kotamadya tengah bergerakkan ke arah pemasukan anggaran dan administrasi kepegawaian di dalam tanggung-jawab dewan sekolah ( Papan Eta, 1996). Tetapi kebijakan ini berubah berubah pada tahun 1991, pemerintah nasional mulai menerapkan suatu sistem evaluasi dipusatkan walaupun dengan prakarsa ini terlihat bahwa pengintegrasian sistem dimaksudkan (Souza, 1997; tidak Ia Fuente et Al, (1998). Merupakann rencana pemerintah pusat telah disetujui pada tahun 1993 dengan tujuan menetapkan muatan kurikuler minimum dan standard untuk manajemen bidang pendidikan pada tahun 1996, Konggres hukum bidang pendidikan mendukung otonomi sekolah meskipun masih ada peran aktif pemerintah 2pusat.

Krawczyk (999) menganalisa kebijakan manajemen sekolah di 11 Kotamadya di Barzil dan mengamati suatu kecenderungan bahwa sekolah mampu membuat keputusan mereka sendiri, mengorganisir tugas di sekitar proyek kelembagaan, mengatur sumber daya dan memilih prosedur dengan tidak melewati batas yang telah ditetapkan dan dikendalikan oleh kotamadya. Walaupun kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan, dua di antara semakin sedikit konsekwensi untuk membantu pemecahan menjadi kepingan sistem ketika sekolah ditinggalkan ke nasib mereka sendiri dan adopsi model manajemen yang memulai dari dunia yang komersial.

Pada bagian yang sebelumnya koneksi antara desentralisasi dan pemusatan telah diselidiki dan beberapa argumentasi untuk menawarkan pemusatan. Bagaimanapun, seperti yang telah dinyatakan, di akhir-akhir desentralisasi adalah fokus utama bagian berikutnya mempertimbangkan kasus untuk desentralisasi dan mengapa hal itu menjadi pusat perubahan bidang pendidikan.

Rhoten ( 2000) mempertimbangkan desentralisasi untuk suatu hasil globalisasi dan menjelaskan bahwa: dengan awal 1980 an, telah dipercaya praktek dan filosofi itu yang mempromosikan centralas yang kelembagaan Status Kesejahteraan yang nasional adalah tidak cocok/bertentangan dengan neo-liberalism dan globalisasi ekonomi. Pergeseran Paradigma melampaui batas-batas negara ini mengakibatkan beberapa gerak kebijakan nasional di mana administrasi di seluruh bumi

yang diatur kembali peran, hubungan dan tanggung-jawab status, pasar dan masyarakat via kebijakan seperti deregulasi, privatisasi dan desentralisasi. Oleh karena paradigma ini- kebijakan bergeser… ketetapan publik domestik yang seperti jasa education-was memberikan kepada sub-national negara ( p.594).

Dia terus untuk berkomentar bahwa pendekatan paling umum analisa desentralisasi bidang pendidikan dalam literatur baik secara teknis maupun politis. Yang terdahulu mempunyai kaitan dengan masukan dan hasil keuangan, bersifat pendidikan atau organisasi dan efek desentralisasi ditaksir dalam kaitan dengan keefektifan biaya terukur oleh tingkat promosi siswa, wisuda/pembagian derajat dan atau penilaian sehubungan dengan sumber daya. ( lihat Carnoy, 1998; Raja dan Osler, 1998). Seperti itu, pendekatan teknis memusat pada keefektifan biaya dan peningkatan sekolah. Yang belakangan, pendekatan politik analisa desentralisasi, terlihat sebagian besar pada tegangan dan negosiasi antara pemerintah, birokrasi pendidikan besar dan atau kelompok di situasi dimana desentralisasi menjadi bagian daridemokratisasi proses nasional dibanding/bukannya sedang melakukan peningkatan sekolah.

Hanson ( 1998), bagaimanapun, membantah perubahan desentralisasi bidang pendidikan itu-yang secara khas mempunyai gelanggang politis’ ( p.3). Ia menguraikan desentralisasi sebagai alami. Sebab negara-negara membuat transisi dari otokratis ke bentuk negara demokratis dan mencoba untuk menetapkan keikutsertaan warga negara dalam pemerintah. Contoh . seperti negara-negara Nicaragua, Venezuela, Spanyol, Argentina, Columbia, Cili, Mexico seperti halnya seperti halnya Negara-negara bekas jajahan komunis di Eropa Timuran. Hanson juga menunjuk ke luar bahwa ada banyak berbeda, tetapi sering berhubungan, tujuan prakarsa desentralisasi. Ini meliputi:

  1. Meningkat pembangunan ekonomi melalui moderenisasi kelembagaan, e.g. Venezuela pada tahun 1960 dan 1970 ( Hanson, 1976);
  2. Meningkat effisiensi manajemen, e.g. Venezuela pada tahun 1990( Cruz, 1992);
  3. pembagian kembali [dari;ttg] tanggung jawab keuangan, e.g. Argentina ( pendidikan utama 1978 dan sekunder 1991) ( Fernandez Lamarra Dan Vitar, 1991);
  4. meningkat demokratisasi, e.g. Spanyol di (dalam) almarhum 1970s, Columbia [yang] pada awal 1990s;
  5. penawaran bersaing pusat [kuasa/ tenaga], e.g. di (dalam) Cili Dan Mexico ( Cortina, 1995; Mcginn Dan Jalan, 1986; Nunez et Al, 1993).
  6. meningkatkan mutu pendidikan ( Winkler, 1993, p.66).

Karstanje ( 1999) menguraikan motivasi [itu] di belakang desentralisasi [yang] yang seperti biasanya dua kali lipat: memendekkan jarak antara pemerintah dan organisasi yang bertanggung-jawab atas implementasi ( sekolah); dan bergeser risiko keuangan itu kepada suatu tingkat yang lebih rendah( p.29). Setelah membedakan deregulasi sebagai proses terpisah, ia menjelaskan deregulasi itu ‘ berasal dari pandangan bahwa otoritas pusat terletak beberapa dari institusi bidang pendidikan tidaklah mampu untuk membuat stok situasi spesifik pada institusi’ ( p.30). Karstanje juga menjelaskan bahwa jika institusi sendiri membuat keputusan di dalam parameter menyimpan pemerintah( p.30). Argumentasi nya adalah bahwa keputusan buat dekat dengan titik implementasi dan . yang membawa tanggung jawab keuangan adalah nampaknya akan keputusan lebih baik, terutama sekali dalam kaitan dengan sekolah dan peningkatan perguruan tinggi.

Contoh Kasus 2 Argumentasi untuk Desentralisasi di Norwegia

Menurut Karlsen ( 2000, pp.526-527) desentralisasi di Norwegia telah (menjadi) agenda sejak] 1960, Walaupun penekanan di dalam argumentasi untuk memvariasi pada waktu, sana telah (menjadi) empat pantai utama:

  1. untuk memperkuat demokrasi dengan pemindahan kekuasaan dari pusat ke badan local.
  2. untuk menyempurnakan inovasi dan pengembangan sekolah.
  3. untuk memperkuat kultur lokal, bisnis lokal dan masyarakat yang lokal secara keseluruhan.
  4. untuk mencapai rasionalisasi dan efisiensi.

Selama waktu ini, perundang-undangan telah ditetapkan untuk menyempurnakan desentralisasi dan yang diharapkan mencoba mencapai itu. Sejak dulu 1969, Hukum bidang pendidikan untuk Menurunkan Sekolah Menengah memberi para siswa dan masyarakat hak untuk mengambil bagian pengambilan keputusan di sekolah mengukur. Tahun 1974 Petunjuk Kurikulum dan, terutama sekali, Petunjuk Yang ditinjau kembali pada tahun 1987, menyajikan lebih fleksibilitas dan kebebasan untuk sekolah dan para guru. Sebagai contoh, tahun 1987 petunjuk kurikulum memberi sekolah kesempatan untuk kembang;kan kurikulum lokal dan untuk menyesuaikan petunjuk ke kondisi-kondisi dan kebutuhan lokal. Khususnya, mereka membuka kurikulum yang meliputi pengetahuan lokal dan kultur lokal.

Bagaimanapun, tahun 1997 Petunjuk Kurikulum membalikkan usaha ini dan lebih terkait untuk mencapai standardisasi dan menekan kebutuhan akan pendidikan skill-orientated dan akademis. Ketika, Karlsen menunjuk Ke luar ‘ sungguhpun ini dari bawah ke atas strategi masih diterima secara logika, ada suatu pergeseran ke arah top-down strategi lebih tradisional tahun 1990. Petunjuk Kurikulum baru di Norwegia, mulai berjalan 1997, sebagian besar hasil suatu prakarsa pusat mengembalikan top-down strategi ( p.527).

Pada waktu yang sama, fokus desentralisasi pada tahun 1990 adalah tentang tanggung-jawab dan efisiensi sekolah sebagai hasil pengurangan dalam belanjaan publik biasanya mengikuti krisis minyak. Argumentasi bahwa otoritas lokal dan sekolah individu terbaik ditempatkan untuk menggunakan pembiayaan secara efisien seperti halnya usaha untuk memperoleh sumber daya baru. Seperti itu, lebih otonomi dan kemerdekaan dan beroperasi pasar seperti lain bisnis. Karlsen menguraikan pendekatan terbaru ke desentralisasi, ketika ditandai strategi yang lebih pribadi dan membisniskan sekolah’ ( p.528). Sebagai tambahan menyediakan suatu contoh proses desentralisasi dan pemusatan, studi kasus ini menyoroti luas argumentasi untuk yang terdahulu mencakup isu tanggung-jawab, efisiensi dan menjual

OTONOMI DALAM PENDIDIKAN

Otonomi digambarkan sebagai hak swapraja. Dengan kata lain, suatu organisasi otonomi bertanggung jawab untuk membuat keputusan tentang satuan isu berkenaan dengan gaya dan penguasaan operasinya. Otonomi mungkin suatu hasil desentralisasi walaupun penting untuk menunjuk bahwa desentralisasi tidak perlu mendorong ke arah otonomi. Seperti desentralisasi, otonomi ditingkatkan dan didorong kearah otonomi pada dan di sisi lain dikurangi, (Thomas, 1997). Makna ini, sama dengan dulu, pengambilan keputusan dan kekuasaan digeser kepusat dimensi. Dalam menggolongkan Sekolah Australian (pada periode 20 Thun terakhir, Sharpe ( 1994) menguraikan suatu rangkaian dari total kendali eksternal untuk total self-management.

Ia mengidentifikasi empat sub-continua yang menguraikan apakah sekolah mempunyai otonomi: variabel masukan, seperti keuangan, staff dan para siswa; variabel struktur seperti keputusan tentang pola teladan ketetapan; variabel proses seperti manajemen kurikulum; dan variabel lingkungan mempunyai kaitan dengan pelaporan dan pemasaran. Dalam pengujian desentralisasi mereka di 11 negara-negara, Thomas ( 1997) juga menggunakan empat dimensi. Mereka menggolongkan derajat tingkat desentralisasi bidang pendidikan, atau area di mana unit lebih rendah menikmati derajat tingkat beberapa otonomi dalam terminologi yang lebih luas.

Kurikulum dan penilaian, manusia dan phisik sumber daya, keuangan dan akses ( pintu masuk murid). Simkins (1997, p.20) menyelidiki isu serupa dalam otonomi diskusi tentangnya, tetapi menambahkan yang lain: di bawah format kendali dan batasan apa yang harus kekuasaan ini dicoba-coba? Pertanyaan ini menyoroti alami otonomi yang relatif dan paradox, terutama organisasi otonomi mungkin tunduk kepada batasan dan kendali pusat. Dalam mengembangkan argumentasinya, ia membedakan antara kekuasaan, ukuran-ukuran,yang terkait dengan penetapan tujuan dan kerangka dan kekuatan operasional yang terkait dengan penyerahan layanan. Karisen’s ( 2000) analisa penguasaan bidang pendidikan di Norwegia dan Columbia Britania, Canada adalah relevan di sini. Ia berkomentar: ‘ Kita sedang memperhatikan suatu desentralisasi yang dinamis di mana pemicu adalah tugas pusat, tetapi implementasi dan tanggung-jawab adalah tugas-tugas lokal.

Leva (2002, p.188) mendiskusikan format otonomi sekolah dalam kaitan dengan keputusan- pembuatan yang mungkin pada suatu pertimbangan sekolah. didasarkan Sendiri bekerja ( Levai 1995) dan Karstanje (1999) dia menyarankan lima daerah:

1. organisasi sekolah: struktur, pembedaan, proses pengambilan keputusan, ukuran kelas kapasitas;

2. kurikulum: ( petunjuk, isi, jam, buku teks), mengajar metoda dan penilaian.

3. mengorganisir: peraturan kecakapan, janji temu dan pemecatan pembubaran, dalam jabatan pelatihan, penilaian, upah dan kondisi-kondisi layanan, mencakup metoda manajemen capaian; keuangan dan manajemen sumber daya:

4. membelanjakan keputusan; ukuran penetapan susunan kepegawaian, pendapat, sistim informasi, kewajiban dan asset keuangan;

5. hubungan eksternal: kebijakan pintu masuk, perekrutan murid, hubungan dengan lain organisatioris ( e.g. serikat buruh).

Dia menunjuk Ke luar itu di dalam masing-masing daerah beberapa keputusan dapat ditugaskan ke sekolah dan orang lain ke tingkat yang lebih tinggi. Format otonomi sekolah dan struktur penguasaan sistem persekolahan tergantung pada daerah yang berbeda dan tingkat pendelegasian ke sekolah di dalam masing-masing daerah.

Walaupun jelas, desentralisasi, pertimbangan otonomi meragukan, terutamaberhubungan dengan variasi dalam menggunakan istilah, Levazies penggolongan sangat menolong seperti mereka memungkinkan perbandingan tentang derajat tingkat desentralisasi di dalam sistem bidang pendidikan berbeda, sebagai contoh, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Milik pengembangan ( OECD, 2000). Pertimbangkan situasi profesional milikmu.

Caidwell dan Spinks mendukung tanggung-jawab dalam melukiskan kerangka operasional suatu self-managing sekolah. Lebih dari itu, studi kasus pada desentralisasi di Norwegia menyoroti tanggung-jawab dan efisiensi sebagai satu pertimbangan untuk desentralisasi. Dalam konteks ini, argumentasi para pemimpin dan para manajer dekat dengan penyerahan pendidikan,dengan demikian akan mampu membuat keputusan efisien dan efektif tentang layanan. Karenanya, desentralisasi dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi.

Bagaimanapun, dalam urutan sistem untuk berhasil, mereka berlatih dalam pengambilan keputusan itu harus terbuka untuk penelitian dengan cermat dan, jika tantangan efektif perlu dan menghukum dalam rangka memastikan bahwa latihan di dalam batas yang ditentukan. Tanggung-Jawab, kemudian, dapat dihormati rekan pendamping dari kebebasan lebih besar pada tingkatan kelembagaan ketika permintaan dibuat untuk memperlihatkan bagaimana kebebasan lebih besar digunakan. Kogan ( 1986) menguraikan sebab suatu kondisi yang diberlakukan untuk pemilik peran individu’ ( p.25).

Kompetisi dalam ekonomi terbaru, mengakibatkan negara-negara terus meningkatkan dan memperhatikan daya saing internasional mereka dalam bisnis dan perdagangan dan capaian sistem bidang pendidikan dilihat sebagai cara untuk menyiapkan para siswa menjadi ekonomis produktif.

1. keuangan Stringency-Increasing permintaan pada pembelanjaan public, negara-negara telah mendorong perhatian memperoleh nilai untuk mendapatkan uang, apapun juga dibelanjakan untuk sistem pendidikan.

2. Hak kekayaan opportunity-on basis bahwa semua warga negara dalam demokrasi menerima akses sama ke jabatan dalam pemerintahan.

Tanggung-Jawab namun isu kompleks lain. Dalam format harfiah, tanggung-jawab dari satu pihak ( A) ke lain ( B) memerlukan tiga hal. Pertama, ada suatu harapan bahwa akan bertindak dalam cara-cara yang konsisten dengan kebutuhan sah si B. Kedua, bahwa memandang format bermanfaat sangat penting untuk B. Ketiga, bahwa B boleh berlatih sanksi atas sesuatu jika gagal disesuaikan dengan Harapan ( Simkins, 1997, p.22). Bagaimanapun, dalam praktek tanggung-jawab ditetapkan dengan jalan berbeda dan berbagai model ditawarkan literatur. Di tingkatan yang makro, empat dimensi tanggung-jawab dapat dikenali:

  1. Political adalah suatu sistem yang didukung oleh dana-dana negara, institusi bertanggung jawab untuk penggunaan yang terbaik dana itu semua dan pemerintah berhak dan bahkan suatu tugas untuk memastikan bahwa institusi sedang menyokong secara penuh kepada pembangunan ekonomi, kemajuan sosial, konservasi budaya, pemenuhan individu dan lain yang gol menikmati pen;dukungan tersebar luas.
  2. Market-The Institusi adalah dapat dipertanggungjawabkan ke pelanggan nya, mitra dan stakeholders dan pilihan dan efisiensi ditekankan. Pelanggan, Mitra dan stakeholders adalah semua ‘ cuma-cuma’ untuk menarik kebiasaan mereka atau mendukung jika institusi tidak menghasilkan apa yang diperlukan dengan cara yang membuat puas menuntut.
  3. Professional-Each Institusi, Sekolah, Perguruan tinggi, Daerah, otoritas pusat atau regional adalah bertanggung jawab untuk memelihara standard paling tinggi bidang pendidikan. Tanggung-Jawab ini diwakili oleh norma-norma yang diarasakan tidak enak oleh para profesional bidang pendidikan dan oraganisasi professional.
  4. Cultural-Education dapat diperlakukan sebagai mengembangkan pengertian baru yang mendalam, pengetahuan dan pemahaman dan merupakan suatu kekuatan untuk mengubah masyarakat. Dalam makna ini institusi hanya mempunyai sedikit tanggung-jawab.

Tanggung-Jawab adalah suatu bagian dari hakiki manajemen, kedua-duanya di dalam suatu sistem organisasi. Perubahan bidang pendidikan di seluruh dunia seperti desentralisasi dan otonomi di tingkatan sekolah atau perguruan tinggi. penekanan lebih besar pada mekanisme untuk tanggung-jawab.

PASAR, PILIHAN DAN HAK KEKAYAAN DALAM PENDIDIKAN

Restrukturisasi pendidikan di seluruh dunia di tahun terakhir adalah karakteristik tidak hanya oleh pergeseran untuk melakukan desentralisasi sistem tetapi juga pengenalan tentang pilihan untuk konsumen ( Gewirtz et Al, 1995; Glatter et al, 1997). Pada prinsipnya, orang tua dan para siswa mempunyai hak untuk memilih suatu sekolah atau perguruan tinggi, walaupun faktor lain boleh mengurangi atau genap menghapuskan pilihan ini. Sekolah Dan Perguruan tinggi pada umumnya mempunyai ukuran-ukuran pintu masuk yang harus dicukupi sebelum ditawarkan suatu tempat, berarti perguruan tinggi dan sekolah bersaing untuk menarik dan merekrut para murid dan para siswa dan hal ini dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka. Pilihan ini dan tanggung-jawab pasar menyiratkan ciptaan pasar’ di dalam sistem pendidikan umum dibiayai ( Levai, 1995, p.2; Whitty et Al, 1998, p.3).

Istilah ‘ pasar’ dipinjam dari dunia komersil dan diterapkan dalam pendidikan dengan pertukaran produk dan jasa pada asumsi bahwa tujuan penyalur adalah untuk memaksimalkan laba dan meminimalkan biaya-biaya. Sebagai tambahan terhadap pilihan, pasar adalah tentang kompetisi, persediaan, permintaan dan harga, secara terminologi menciptakan makna kesukaran segera ketika berlaku untuk pendidikan. Penyedia, atau para penyalur, tentang pendidikan dibiayai tidaklah secara adapt terkait dengan ‘ laba’, tidak pula sekolah untuk sekolah milik pribadi. Lagipula, dalam beberapa situasi, total permintaan pada suatu waktu mungkin dihormati ketika ditetapkan, perbaiki dengan mengumpamakan pergerakan keluar masuk sektor swasta diabaikan. Karena pertimbangan ini, istilah quasimarket telah digunakan untuk menguraikan perubahan dalam pendidikan ( Le Agung Dan Bartlett, 1993).

kompetisi adalah tentang penguasaan pasar. Pemasaran sekolah dalam percobaan untuk menarik lebih banyak para murid, dengan demikian, memaksimalkan pasarnya saham telah menjadi suatu proses manajemen sekolah standard, terutama sekali di Negara-Negara berbahasa Inggris. Walaupun para manajer sekolah tidak tertarik akan keuntugan mekanisme formula dasar sistem seperti manajemen sekolah lokal ( LMS) di UK dirancang untuk mendorong sekolah untuk bersaing, para murid dan pembiayaan mereka. Apalagi, dalam beberapa Negara sebagai contoh, di Afrika Selatan, Para murid datang ke sekolah dibiayai, juga diharapkan untuk membayar uang sekolah. Dalam arti sekolah ingin memastikan bahwa mereka merekrut kuota para murid penuh bagai mereka yang mampu membayar uang sekolah atau melobi pemerintah untuk membiayainya.

Pengenalan tentang mekanisme dalam pendidikan telah menggusarkan kontroversi pantas dipertimbangkan. Karena Advokat membantah bahwa kunci untuk meningkatkan sekolah bukan konsumen yang mempengaruhi sekolah dengan banyaknya pilihyan mereka.( Ranson, 1996, p.216). Secara teori bahwa pilihan menciptakan kompetisi antara sekolah, baik berhasil baik dan sekolah kekurangan dipaksa ke luar dari ‘ pasar’. Karenanya, para pemimpin sekolah dan para manajer dapat mempertanggungjawabkan dan untuk menyediakan perangsang peningkatan sekolah. Karena komentator lain, tidak secara langsung akan nampak. Di samping/ teori sekolah individu dan orangtua individu bebas untuk membuat keputusan tentang pendidikan ‘ yang disediakan’ atau ‘ yang dibeli’, lain faktor, seperti kepentingan diri, masuk ke dalam arena dan sekolah dan orang tua tidak menikmati ini ‘ kebebasan’. Isu hak kekayaan, suatu situasi pasar dan Stinette ( 1992, p.6) menguraikan secara singkat efek suatu kebijakan yang mana terlalu didesentralisasi.

Desentralisasi dirancang untuk membawa pengambilan keputusan yang semakin dekat kepada siswa dan belajar lingkungan kelas. Bagaimanapun, desentralisasi membawa serta kemungkinan kemungkinan ekstrim masyarakat lokal, mencakup orang tua dan pendidik, tidak mempunyai pengetahuan dan sumber daya cukup melindungi mutu pendidikan yang disajikan kepada anak-anak mereka. Sama halnya pemusatan telah gagal sebagai jaminan penuh dari semua, maka boleh desentralisasi membuktikan tidak cukup kepada tugas yang sama. Contoh kelompok adalah nampaknya akan dikeluarkan meliputi anak-anak perempuan dalam beberapa pengaturan uang sekolah dibebankan ( seperti Afrika Selatan ditandai di atas) dan para murid dengan kebutuhan bidang pendidikan khusus dimana hasil prestasi murid digunakan untuk memasarkan alat untuk masukan masa depan. Dari riset mereka, Van Langen dan Dekkers ( 2001, p.382) ditemukan kekuatan pasar bertindak melawan terhadap kooperasi antara sekolah, yang akan bermanfaat bagi para siswa dan kelurusan pendidikan dengan jasa lain seperti kesehatan, kesejahteraan, polisi dan perbekalan sosial tidaklah mungkin tanpa koordinasi otoritas lokal.

Setelah mempertimbangkan desentralisasi dan sejumlah konsep terkait dan memprosesnya, akhir dua bagian dari bab ini memusatkan pada isu yang penting dampak berbagai cara kebijakan pengambilan keputusan dibagi-bagikan sepanjang seluruh sistem. Pada basis tujuan manapun struktur bidang pendidikan dan memungkinkan tingkatan paling tinggi terpelajar dan keseluruhan sekolah dan peningkatan perguruan tinggi, yang paling penting bahwa dampak dan hasil dibawa ke garis terdepan. Karenanya, berbagai hal memimpin dan memanage adalah suatu sistem didesentralisasi dan hubungan antara otonomi dan peningkatan sekolah.

MEMANAGE SUATU SISTEM DESENTRALISASI TERKEMUKA

Desentralisasi berdampak pada pekerjaan manajer dan pemimpin pada semua tingkat dalam suatu sistem bidang pendidikan. Seperti ditandai sebelumnya, rekan pendamping otonomi pada umumnya ditingkatkan tanggung-jawanya. Walaupun desentralisasi menyediakan sekolah utama dan para gubernur dengan otoritas pengambilan keputusan, dapat juga mengakibatkan mekanisme tanggung-jawab lebih rumit untuk tingkat yang lebih tinggi. Apalagi, mengeluarkan kebijakan yang berkenaan dengan struktur sistem berbeda dengan proses perubahan, kultur, suatu organisasi. Fullan ( 1993, p.49) menjelaskan ‘ untuk mengatur kembali bukanlah mengubah budaya dan struktur formal tidaklah sama halnya mengubah norma-norma, kebiasaan, ketrampilan dan kepercayaan’. Hanson ( 1998) juga menafsirkan tema ini:

Desentralisasi tidak datang melalui hukum atau menandatangani keputusan. Seperti kebanyakan jenis perubahan, perubahan dibangun bukannya menciptakan. Itu terjadi pelan-pelan sebab kultur organisasi ( e.g. cara mereka selalu melakukan berbagai hal di sekitar ini) harus diubah, peran baru dipelajari, gaya kepemimpinan mengubah membalikkan pola komunikasi ( p.121).

Contoh Kasus 3 Malawi

Davies et al ( 2003) melaporkan riset desentralisasi pendidikan yang mana Pemerintah Malawi berniat sebagai untuk meningkatkan manajemen pendidikan melalui desentralisasi pada pengambilan keputusan bidang pendidikan ( p.142). Riset ini mempunyai kaitan dengan desentralisasi ke daerah, bahwa telah diperkenalkan setelah pemilihan demokratis pada 1994 pada otokratis. Pendidikan dipusatkan ke daerah tertentu, dimana Departemen Britania bertanggungjwab untuk Pengembangan Internasional telah merancang dan menerapkan suatu prakarsa mengarahkan di sekolah dan peningkatan managerial. Sumber daya ekstra telah disajikan kepada Kantor Daerah dengan maksud untuk memungkinkan perubahan yang diinginkan dalam ketetapan bidang pendidikan. Davies et al ( pp.1 43-144) menguraikan prakarsa secara menyeluruh, penyelidikan secara alami diharapkan mampu melihat bagaimana pendidikan bisa usahakan, patut, berdasarkan kebutuhan dan memenuhi berkwalitas, boleh jadi dikirimkan daerah tunggal yang beroperasi dalam suatu konteks tanggung jawab administrative dalam kerangka desentralisasi.

Perubahan dipertimbangkan sebagai bagian dari prakarsa untuk ketetapan spesialis mengorganisir kantor pendidikan daerah, pelatihan untuk staff yang baru di dalam sistem dan peran baru, perluasan kantor, ketetapan peralatan dan persediaan ekstra, akuntansi baru dan prosedur budgeter, pengenalan tentang suatu sistem informasi manajemen pendidikan komputerisasi, dan memperkuat daerah monitoring pada sistem evaluasi. Bagaimanapun, Davies et al menunjuk perubahan yang tak bisa diacuhkan menyebabkan perubahan dalam budaya kerja. sebagai contoh dalam hubungan dengan penentuan sasaran, hak kekayaan dan tanggung-jawab. Oleh karena itu, berpusat secara alami dalam proses perubahan di dalam pada tataran pendidikan.

Penggunaan suatu teori dikandaskan, peneliti mengenali lima kondisi pokok dengan pemahaman saling mempengaruhi, hal ini diperlukan untuk memahami secara penuh dampak dari suatu intervensi dalam membantu desentralisasi. Yang termasuk wilayah ini adalah sebagai berikut:

1. budaya kerja: sebagai contoh, praktek, gaji rendah dilampirkan oleh pinjaman dan biaya, hirarki dan berubah peran, pengembangan prakarsa individu.

2. tanggung-jawab: sebagai contoh, diskripsi tugas, keikutsertaan lebih luas di dalam pengambilan keputusan.

3. informasi: sebagai contoh, ketersediaan, ketelitian.

4. sumber daya: sebagai contoh, tingkatan manusia yang sesuai dan sumber daya diperlukan untuk memungkinkan daerah dan kantor lokal berfungsi secara efektif seperti halnya kendali mereka.

5. ketahanan: sebagai contoh, keperluan untuk menunjuk empat area di atas dalam rangka mendukung desentralisasi dan prakarsa.

Seperti banyak orang lain studi, Davies et riset al’s mengkonfirmasikan pentingnya pemahaman konteks local dalam manajemen perubahan pendidikan. mereka menguraikan proses perubahan desentralisasi sangat kompleks, tidak linier dan tak dapat diramalkan. Secara intensif dihubungkan secara politis ke kuasaan diantara kerangka budaya. Sebagai tambahan terhadap tanggung jawab strategis dan manajemen keuangan dan kepemimpinan, dan hubungan dengan, masyarakat lokal diakibatkan oleh otonomi sekolah, beberapa para penulis menafsirkan ketiadaan guru komitmen ke desentralisasi ( Gorostiagi Derqui, 2001; Nh, 2002). Van Zanten ( 2002, p.291) juga menaikkan dampak pada para guru dan kelompok lain. Dia membantah bahwa para guru akan kehilangan pengaruh, mereka berada di tingkatan nasional melalui tindakan perserikatan yang secara individu dan administrasi lebih diutamakan oleh kepala sekolah, atau orang tua pada tingkatan local. seperti situasi bisa menciptakan tegangan antara para manajer senior dan para guru, pada gilirannya, mempunyai implikasi terhadap kepemimpinan dan manajemen sekolah dalam kaitan dengan fungsi kepegawaian.

PENINGKATAN SEKOLAH OTONOMI

Dalam pembahasan ini otonomi dan peningkatan bidang pendidikan dibahas dengan singkat. Seperti dinyatakan sebelumnya, berasumsi bahwa tujuan utama tentang segala organisasi bidang pendidikan adalah untuk mencapai ‘ yang terbaik’ hasil sosial dan bidang pendidikan mungkin untuk para siswanya, bahwa organisasi secara terus menerus mengejar peningkatan. Secara konsep dan proses akan dibahas dalam bab ini dan semoga bermanfaat, ada kemungkinan bahwa mereka berperan untuk meningkatkan hasil bidang pendidikan.

Levai(2002,pp.198-202)mendiskusikan keterangan empires yang berhubungan dengan desentralisasi dan peningkatan sekolah dan sekolah otonomi. Dia perhatian bahwa sukar untuk menetapkan mata rantai menyebabkan sebab riset diberlakukan bagi sistem persekolahan berbeda dan menggunakan metoda berbeda Meskipun demikian, beberapa kesimpulan dikemukakan untuk mengevaluasi dampak desentralisasi dan sekolah otonomi yang diakibatkan adanya relevansi dan berani, hal itu relevan dengan tujuan pokok tentang segala sistem bidang pendidikan, pendidikan harus menyediakan pelajaran dan pengajaran efektif. Perubahan perlu dilakukan untuk merancang system yang berperan untuk keseluruhan peningkatan. Seperti didiskusikan tadi, argumentasi bidang pendidikan desentralisasi adalah bahwa keputusan menyerang suatu tingkatan lokal, bersama dengan keterlibatan orang tua dan masyarakat lokal, lebih mungkin efektif dan menyempurnakan peningkatan dibanding mereka membuat suatu departemen pemerintah birokratis.

Penentuannya adalah berani sebab sedikit peneliti bekerja area ini mencoba menghubungkan penemuan mereka secara langsung terhadap dampaknya kepada para murid dan pelajaran. Pada bab penutup dengan suatu ringkasan riset yang mencoba untuk menyelidiki koneksi hubungan antara otonomi sekolah dan peningkatan sekolah.

Dempster (2000) menguji efek dan dampak dari apa yang ia bagi manajemen berdasarkan keududukannya di sekolah, sekolah yang menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Peneliti Kanada, Sackney Dan Dibski ( 1994). Ia dimulai dari pernyataan school-based manajemen mengarahkan siswa agar ditingkatkan hasil belajarnya, walaupun penemuannya tidak mendukung itu. Bagaimanapun, ia terus mengakui bahwa ada data bersifat menyiratkan aspek itu, manajemen school-based berhubungan dengan perencanaan dan bantuan komunikasi ‘ membentuk sebagian dari kondisi-kondisi yang secara tidak langsung mempengaruhi praktek .

Pekerjaannya di Australia dan Austria (dengan Logan dan Sachs) para guru yang menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan sekolah itu ( yang diperlukan untuk self-managing sekolah) telah memberi dampak lebih rendah pada aktivitas kelas,dan belajar siswa.

Ia juga mendukung Wylie’S ( 1996) bekerja Selandia Baru di mana belum selesai seperti pada manajemen school-based mempunyai dampak pada pelajaran siswa walaupun dia mengamati Dewan Sekolah itu, diharapkan untuk memusatkan pada belajar, menggunakan kebanyakan dari waktu mereka pada keputusan yang berhubungan dengan dan keuangan.

Studi efektivitas sekolah di Australia dan Austria, sudah ditemukan perbedaan dalam pencapaian antara sekolah di bawah manajemen school-based. Blackmore et Al ( 1996) berkomentar atas perubahan pokok didalam pekerjaan guru menghalangi/merintangi pelajaran dan pengajaran baik jika para guru merasa nilai pekerjaan mereka tidak dikenali. Sekolah yang paling produktif tuju cenderung untuk menjadikan mereka mempunyai motivasi dan komitmen di dalam Dewan Sekolah mereka dan dengan sumber daya tersedia untuk pendukungan prakarsa baru ( Gammage et Al, 1996); dan yang sudah menggunakan proses manajemen diserahkan dalam menerapkan sekolah berdasarkan manajemen ( Wildy, 1991).

Babyegeya (2000,p.6) menguraikan desentralisasi di Tanzania yang mana diarahkan pada pembuatan sistem masyarakat persekolahan yang lebih efektif. Ia menyoroti suatu proyek yang dirancang untuk membuat masyarakat sekolah lokal yang bertanggung jawab untuk pengembangan sekolah mereka. Walaupun niat proyek ini adalah bahwa masing-masing stakeholder, anggota masyarakat, para guru, dewan desa, otoritas daerah dan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, mempunyai tanggung-jawab tertentu, Babyegeya menyatakan bahwa fokus pekerjaan akan meningkatkan fasilitas sekolah, pendaftaran dan kehadiran.

Ia mengakui adanya fasilitas yang lemah dan kemerosotan adalah masalah utama di Tanzania walaupun membantah bahwa meningkatkan untuk membuat sekolah lebih efisien dan efektif. Ia mendukung Ruangan pesawat untuk pilot dan Verspoor(1991, p.1) sudut pandang bahwa tidak berarti untuk meningkatkan pendaftaran dan kehadiran tanpa mempertimbangkan struktur organisasi sekolah dan teaching-learning proses. Akhirnya, Caldwell(2000) memetakan apa yang ia membagi studi generasi ketiga dari mata rantai potensial antara manajemen lokal dan hasil belajar. ia menyimpulkan bahwa: selagi ada namun banyak tidak-pasti tentang sifat alami dan dampak sekolah ubah, adalah jelas bahwa rata-rata sudah dekat untuk menciptakan suatu sistem sekolah negeri yang akan menyediakan mutu pendidikan tinggi untuk semua siswa dan secara profesi bersifat penghargaan untuk para guru dan para profesional lain. Tantangan bagaimana cara memasang potongan.

RINGKASAN

Banyak negara di seluruh dunia, bahwa proses desentralisasi bidang pendidikan telah akhi-akhir tahun. Ada banyak dan bermacam pertimbangan. Tentu saja, dalam beberapa situasi pemusatan ditingkatkan dalam beberapa aspek kebijakan bidang pendidikan. Lebih dari itu, sebagai konsep, desentralisasi tidaklah secara langsung ditafsirkan berbeda di dalam situasi berbeda. Desentralisasi berdampak pada para pemimpin dan para manajer pada semua tingkat di dalam sistem bidang pendidikan walaupun efeknya pada peningkatan sekolah masih tidak-pasti.

Read Full Post »

Oleh: Riwayat

Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”.(QS.Taha:123-1240).

Bermula ketika Adam dan Hawa diusir dari surga, dan dari situ kehidupan manusia mengalami babak baru, kehidupan yang penuh dengan intrik, kehidupan yang mengelisahkan, mengerikan, karena terjasi banyak pembunuhan, permusuhan sesama mereka. Permusuhan, pembunuhan semama mereka terjadi akibat tidak menjadikan Al-quran sebagai pedoman, tidak menjadikan wahyu sebagai dasar hidupnya. Sehingga yang terjadi adalah kebebasan jiwa dan hati tanpa kendali. Keinginan menjadi pengganti Ilahi dalam dirinys, sehingga kesesatan membayang danmerasuk dalam jiwa dan hatinya.dan pada akhirnya kesengsaraan dating dengan tiba-tiba dalam jiwanya,meronta dan melawan jiwanya kalah karena tertutupi oleh ketamakan terhadap duniawi.

Kesesatan akan menyelimuti hati dan jiwa manusia ketika ia membuang wahyu darai hidupnya, menjual petunjuk dengan kesesatan, sehingga yangtinggal hanya penyelasan dan keresahan.memang Allah telah memberikan sinyal bahwa yang selamat dan mendapat petunjuk adalah yang selalu dekat dan menggunakan petunjuk dari-Nya, sedangkan yang tidak menggunakan petunjuk dari Allah akan sesat. Dan yang lebih berbahaya adalah akan diberikan kehidupan yang sempit, manusia yang telah berpaling dari aturan Allah akan diberi kehidupan yang sempit kehidupanya yang menghinakan, menyengsarakan dan mengelisahkan.

Manusia menjadi gelisah, kegelisahan yang meresahkan hati dan jiwa. Hatinya merana, meraung dalam kehampaan dan kesunyian spiritual dalam dirinya. Tangis dan raungan hanya bergema dalam jiwa tertutup oleh nafsu duniawi yang telah menjadi raja dan berkuasa dalam dirinya. Kegeloisahan demi kegelisahan singgah silih berganti dengan variasi yang menyedihkan hati dan mengiris jiwa. Gelisah dan gundah menjadi selimut dalam keseharian.

Kesemua penyebab kegelisahan tersebut adalah karena hati yang sunyi dari nilai- nilai transenden, nilai-nilai ketuhanan. Banyak manusia terjebak dalam kehidupan yang menjauhkan dirinya dengan realitas nyata kehidupan manusia. Realitas tersebut adalah pengabdian tulus kepada Allah dengan jalan bekerja untuk dunia dan akherat. Bekerja adalah bagian dari realitas kehidupan manusia. Bekerja bukan hanya untuk dunia, tetapi juga untuk akheratnya.”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS.Al-Qsshshas:77)

Banyak manusia yang terjebak dalam rutinitas kehidupan dunia dan melupakan adanya kehidupan akherat. Mungkin secara lisan ia telah mengakuai bahwa akherat ada, surga neraka mengetahui, tetapi dari segi asplikasi manusia banyak yang miskin amal kebaikan, malanya hanya untuk dunia,amalnya hanya untuk memperoleh kehidupan keduniaan, sehingga hidup kekal di akherat menjadi hilang dalam konsep jiwanya.ketika manusia telah kehilangan konsep hidupnya, kehilangan makan hakiki kehidupan yang sebenarnya maka manusia akan terjebak dalam kubangan kehidupan semu dunia. Berawal dari sini manusia mulai meninggalkna kehidupan yang sebenarnya kehidupan hakikinya.

Kegelisahan demi kegelisahan singgah dalam hatinya, keresahan mulai timbul menyelimuti jiwanya, hatinya mulai resah gelisah gundah gulana, pada saat itu manusia mulai merasakan betapa menjemukan kehidupan ini. Hidup baginya menjadi sangat membosankan.untuk menghilangan kebosanannya mereka lewati dengan hura-hura,pesta-pesta, mabuk-mabukan, dugem dan menyukai kehidupan malam. Tetapai kesemua kesengan semu yang ia coba lakukan untuk menghilangankan kegundahan ahati tidak membri efek kebahagiaan dalam jiwanya. Jiwanya bukan menjadi senang, damai, tenteram ,tetapikegelisahan yang makin mendera, jiwanya makin menderita. Kesengsaraan jiwanya makin menjadi. Semua kesenangan yang ia coba tawarakan kepada hatinya tidak mampu memberi efek jera, efek ketentraman dalam jiwanya.

Jiwanya mengalami kekeringan, kerontang oleh nilai- nilai keagamaan, sehingga jiwanya menjadi haus akan nilai- nilai ibadah,nilai dzikir.hatinya rindu akan lantunan dzikir, lidahnya ingin dibasahi dengan lafaz-lafaz pengaungan kepada sang Khaliq, tetapi semua diredamnya dengan kesenangan duniawi yang semu. Hatinya

Yang meronta-ronta dibiarkan merana, dibiarkan sirna berbagai keinginan untuk dekat kepada sajad dienyahkan dalam kehidupannya,sajadah tinggal ajadah, Al-Quran tinggal tulisan dan pajangan , tasbih hanya menjadi penghuni etalase. Ia tidak lagi merasakan indahnya suara adzan, adzan sudah menjadi sesuatu yang tidaklagimampu menentramkan hati, adzan tidak lagi mengetarkan hatinya, menggerakkan hatinya untuk mengambil wudhu dan munajat kepada Allah. Melihat AlQuraseperti melihat onggokan buku-buku usang yang membosankan, melihat sajadah seprti kain bekas yang tidak berbekas, melihat tasbih seperti tali untuk mengikat kambing sembelih. Melihat mesjid seprti melihat gudang yang menakutkan.

Malam baginya seperti siang siang seperti malam, benar salah, baik buruk baginya tidak ada beda, yang ada bagi merelka adalah dunia dan segala kesenangan jiwanya, kesenangan semu, kesenangan yang sunyi dari Ilahi, sunyi dari nurani. Kesenangan yang hampa seperti udara, tanpa makna dan rasa. Kesemuan menjadi selimut keseharian, kesemuan menjadi bagian dari kehidupan, aharapannya hanya yang kelihatan,yang tampak dari panca indera, sedangkan harapan masa depan terkubur dalam-dalam oleh keinginan keduniawian, sehingga mata batin menjadi hilang tanpa bekas. Kesengsaraan jiwa mulai menimpa hati, kebahagiaan mulai ditampakkan di permukaan kehidupannya, ia mencoba mendustai kata hati, ia berusaha mengelabui banyak orang dengan penampilan yang sepertinya bahagai, tentram tetapi sebenarnya hatinya, jiwanya gelisah yang amat sangat. Seperti tersengat aliran listrik yang dahsyat. Melumat hati dan jiwanya, kegelisahan keresahan mencabik jiwanya seperti tercabik cabik oleh taring srigala.

Jiwa tercabik oleh kehidupan dunia obat mujarabnya adalah kembali mengingat Allah, kembali mengingat makna kehidupan ini.mulai menyadari akan hakekat hidup di dunia, dan meperbanyak dzikir kepada Allah sang pemilik ketenraman, kedamaian, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Jiwa yang selalu dekat kepada Allah, hati yang selalu terpaut dengan Allah yang akan mendapatkan kekayaan hati, kekayaan jiwa, sehingga hati dan jiwanya tidak gersang, tetapi sebaliknya hatinya menjadi kebun yang subur dengan berbagai tanaman yang indah, kesuburan itu, tanaman indah itu adalah hakekat dari ketenangan, ketentraman jiwa dan hati manusia tatkala menyatu dengan Tuhan-Nya.

Read Full Post »